Beranda
Baca Online
Bon'nō no Kazu Dake Koi o Suru 108-tsu no Sainō E Aiwokomete
[Prologue] Bon'nō no Kazu Dake Koi o Suru 108-tsu no Sainō E Aiwokomete

[Prologue] Bon'nō no Kazu Dake Koi o Suru 108-tsu no Sainō E Aiwokomete

Rion
Juni 27, 2025

[Prologue]

Judul Novel: Bon'nō no Kazu Dake Koi o Suru 108-tsu no Sainō E Aiwokomete
Volume 1 - Prologue | Diterjemahkan oleh: Randika Rabbani [Hinagizawa-groups]

Estimasi waktu baca...

Diruang kelas sepulang sekolah yang telah sepi, tersisa seorang laki-laki dan beberapa orang perempuan.

Ini suasana yang seharusnya bisa dipenuhi oleh atmosfer yang manis. Yah tapi, kenyataannya tidak seperti itu.

Laki-laki itu adalah aku,

Dan aku sedang dikelilingi oleh beberapa siswi.

Entah kenapa, semua gadis itu menatapku rendah dengan ekspresi yang mengerikan.

Hanya aku yang duduk di kursi, menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi, menerima tekanan berat tanpa alasan yang jelas.

"Maaf. Coba ulangi sekali lagi? Kenapa aku yang disalahkan?"

Aku berbicara untuk mencoba menenangkan gadis-gadis yang sedang emosi itu.

Mungkin karena sikapku itu malah membuat mereka makin kesal, seorang gadis berambut pirang mencolok melangkah maju.

"Dibilang, minta maaflah karena sudah membuat anak ini menangis!"

Di belakang gadis pirang itu, ada seorang siswi yang terisak-isak dengan mata merah dan bengkak.

"Kenapa?"

"Karena kamu, Hatsuse, udah menghina surat yang ditulis anak ini dengan segenap keberaniannya!"

"Hah? Sepertinya ada kesalahpahaman."

"E, eh…… a-apa maksudmu?"

Saat aku tersenyum pahit, gadis pirang itu saling melihat dengan teman-temannya di belakang.

Sepertinya mereka semua tidak memahami situasinya dengan akurat, mau bagaimana lagi.

"Biar aku beritahu kebenarannya. Dia yang menangis dengan muka korban di sana itu, salah memasukkan surat cinta yang katanya ditulis dengan segenap keberanian ke dalam mejaku. Padahal targetmu yang sebenarnya adalah kursi di depanku."

"……"

"Wajar, kan, kalau aku membaca isi surat yang kuanggap ditujukan untukku? Aku sudah berharap kalau di sekolah ini masih ada gadis yang punya mata bagus untuk menilai laki-laki, tapi aku malah terkejut. Surat cinta untuk orang biasa-biasa saja yang duduk di depanku dan tidak punya kelebihan apa pun, benar-benar di luar dugaan. Aku tidak punya alasan untuk diperlakukan seperti penjahat hanya karena aku mengeluh secara langsung karena terseret ke dalam urusan asmara yang tidak penting ini."

Sejujurnya saat aku bilang tentang kebenarannya itu, para gadis di hadapanku terdiam.

Siswi yang tadinya terisak di balik lindungan teman-temannya pun angkat bicara.

"Hideto-kun bukan orang seperti itu…… hiks, dia orang yang sangat hebat!"

"Apanya yang hebat? Hanya dengan melihat bagian belakang kepalanya dari kursiku saja aku sudah tahu, dia itu jagoan kampung yang cuma dipuja-puja di lingkungan sini dalam hal belajar dan olahraga. Kalau dilihat dari tempat yang jauh lebih tinggi, dia itu tak lebih dari sebuah semut. Meskipun, mungkin dia cocok untuk gadis sepertimu yang salah memasukkan surat penting."

Siswi yang menangis itu, setelah membuka mulutnya dengan tatapan kosong, wajahnya memerah dan kemudian menangis dengan keras.

Melihatnya dengan tatapan setengah terpejam, gadis pirang tadi menghampiriku dengan lebih marah.

"Beraninya kamu mengatakan hal seperti itu pada temanku…… Dasar laki-laki berdarah dingin, yang terburuk dan paling payah!"

"Guu… hiks, sudah, sudah, sudahlah, jangan diladeni. Chiharu-chan! Orang ini, benar-benar berbahaya seperti rumornya! A-aku, sudah tidak tahan lagi—!"

"Tidak bisa dimaafkan! Hatsuse! Hatsuse Junnosuke, kamu, minta maaflah pada anak ini—!"

Gadis pirang itu, tidak seperti penampilannya yang mencolok dan terkesan seperti gyaru murahan, tampaknya sangat menjunjung tinggi persahabatan.

Namun, selain dirinya, yang lain mungkin dalam hati sudah gemetaran ketakutan berhadapan denganku.

Aku menunjuk ke belakang gadis pirang yang menatap lurus ke arahku.

"Sepertinya teman-temanmu sudah lari terbirit-birit, lho."

"Eh? ……Ah!"

Dia sepertinya baru sadar kalau tidak ada satu pun teman yang dia lindungi di belakangnya. Mereka rupanya sudah bubar seperti anak laba-laba, menyusul siswi yang tadi lari keluar kelas sambil menangis.

"Kasihan sekali, ya, orang yang berdiri di garis depan malah ditinggalkan. Lain kali, carilah teman yang pantas untuk dilindungi. Sekalian saja, sebaiknya kau perbaiki juga keberadaanmu yang seperti bayangan itu."

"Tch…… orang jahat sepertimu, suatu saat pasti bakal kena batunya!"

"Sayangnya, dewa yang akan menjatuhkan hukuman itu adalah yang paling mencintaiku. Karena, aku adalah jenius sempurna yang paling berbakat di dunia ini!"

"——……"

Gadis pirang itu membuka mulutnya, menunjukkan gelagat ingin membantah, tetapi sepertinya dia tidak bisa menemukan kata-kata. Dengan kata lain, dia mengakui pernyataanku dalam diam.

Dia menggigit bibirnya dengan kesal, menatapku dengan tatapan tajam yang mengerikan, lalu berlari pergi.

Di ruang kelas tempat hanya tersisa aku seorang, keheningan yang nyaman pun menyelimuti.

Aku bangkit dari kursi tempatku bersandar, lalu berjalan ke dekat jendela kelas.

Aku bisa melihat ke bawah pada mereka yang berkeringat deras saat kegiatan klub di lapangan, dan mereka yang masuk ke ruang belajar mandiri dengan tas sekolah yang menggembung penuh buku referensi menekan bahu mereka, semuanya berusaha mati-matian.

"Benar-benar sulit dimengerti, cara hidup orang biasa."

Kejadian dengan para gadis tadi juga begitu. Di mana salahku?

Orang lain menuduhku tidak punya hati. Ya, memang benar. Aku tidak bisa memahami perasaan orang-orang biasa yang tak terhitung jumlahnya itu, dan aku juga tidak ingin memahaminya.

Sejak lahir, aku tidak pernah sekalipun berusaha.

Aku adalah seorang jenius sejati. Aku bisa melakukan apa saja. Aku adalah yang terbaik dalam segala hal.

Di sehari-hari pun, aku tidak punya alasan untuk dikeluhkan karena aku selalu mendapat nilai sempurna dalam ujian meski hanya mendengarkan sambil lalu pelajaran dari guru, dan aku tidak punya saraf selemah itu sampai butuh bergaul bersama teman sekelas yang bodoh dan tolol. Seorang jenius sejati tidak memiliki pemahaman dari orang lain dan merupakan eksistensi yang penyendiri.

Meskipun di masa depan posisiku sebagai harta karun umat manusia sudah dijamin, untuk saat ini aku ingin menghabiskan waktu dengan bersantai. Dan, meskipun saat ini aku belum punya hubungan asmara karena tidak ada pasangan yang sepadan, suatu saat nanti aku pasti akan bertemu dengan wanita idealku.

Saat itu, aku melihat para gadis yang tadi menggangguku keluar dari gedung sekolah dan berjalan pulang.

Aku mencondongkan tubuh keluar jendela dan menggerutu dengan volume suara yang cukup untuk sampai ke telinga mereka.

"Kalau saja muncul seorang wanita cantik yang sudah debut di Hollywood, memenangkan Grammy, dan menerima Nobel sekaligus, aku pasti akan langsung jatuh cinta padanya—! Kalau saja ada wanita berbakat yang bisa mendapatkan semua status dan kehormatan—!"

Para gadis itu tersentak kaget. Bahkan dari kejauhan, saat mata kami bertemu, mereka mungkin saling berbisik menjelek-jelekkanku sambil mempercepat langkah mereka pergi…… Begitu pikirku, tetapi ada satu orang yang kembali terpisah dari lingkaran teman-temannya dan menatap ke arahku. Rambut pirangnya yang cerah berkibar ditiup angin.

Sepasang mata sipit yang mengintip dari celah poninya menusukku dengan tatapan yang tegas.

Sayangnya, aku tidak repot-repot mengingat nama teman sekelasku. Semuanya adalah orang biasa yang tidak penting. Gadis pirang itu seharusnya tidak terkecuali dan tidak pernah ada dalam pandanganku, tetapi saat aku melihatnya dengan saksama seperti ini, aku dibuat berpikir dia memiliki penampilan yang begitu cantik sampai-sampai aku heran kenapa bisa melewatkannya selama ini.

"……Wlee!"

Gadis pirang itu menjulurkan lidahnya seolah memuntahkan rasa jijik, menunjukkan ekspresi yang kurang ajar.

Setelah itu, dia menyadari bahwa dia ditinggal lagi oleh teman-temannya, dan bergegas membalikkan badan lalu pergi.

"Penampilannya saja yang bagus, tapi isinya paling buruk."

Dunia ini memang dipenuhi oleh orang-orang bodoh yang tidak bisa menilai.



Keesokan paginya. Aku masuk ke kelas, duduk di kursiku, dan menyandarkan tubuhku ke sandarannya.

Tiba-tiba, aku merasakan ketegangan yang aneh menyebar dari para siswa di kelas, jadi aku melihat sekeliling.

Terlihat beberapa kelompok sedang membuka buku pelajaran dan catatan sambil berbincang. Oh iya, hari ini adalah hari ujian rutin. Aku sama sekali tidak perlu mempersiapkan diri, jadi aku benar-benar lupa.

"Terlahir sebagai jenius yang bisa melakukan apa saja memang merepotkan karena tidak ada tantangan."

Aku menyandarkan tubuhku lebih dalam lagi ke sandaran kursi dan bergumam pada diri sendiri. Bahkan tatapan penuh permusuhan yang datang dari berbagai sudut kelas ini terasa seperti stimulus setengah-setengah seperti soda ringan, rasanya tidak cukup.

Aku jadi berharap, entah kenapa, semoga terjadi insiden yang lebih menantang.

Mungkin itu adalah kesalahanku. 

Sejak saat itu, hidupku berubah total.


Beberapa hari kemudian, guru wanita yang mengajar matematika berkata dengan suara datar, "Aku akan kembalikan hasil ujian kalian—".

Dipanggil sesuai nomor absen, para siswa yang menerima lembar jawaban dari guru menunjukkan ekspresi suka dan duka.

Sementara itu, aku dengan tenang menunggu giliranku tiba. Lagipula, aku tidak pernah peduli dengan nilai di lembar jawaban yang dikembalikan. Karena sudah pasti nilainya 100.

……Tapi, entah kenapa dalam ujian kali ini, aku tidak bisa menghilangkan perasaan aneh di setiap mata pelajaran.

Meskipun penaku bergerak dengan lancar, rasanya berbeda dari biasanya…… Apa ini hanya perasaanku saja?

"Berikutnya…… aah, Hatsuse."

Namaku dipanggil oleh guru, dan aku perlahan bangkit dari kursi. Aku berjalan dengan anggun ke arah meja guru.

Dengan senyum penuh keyakinan percaya diri, aku menerima lembar jawabanku.

Aku langsung memeriksa nilainya dan────kedua mataku terbuka selebar mungkin, rahangku jatuh.

"……………Du-du-du-dua poin……!? Padahal aku menjawab semuanya??"

Aku menatap nilai ujianku, napas yang keluar bahkan tak bisa disebut sebagai desahan.

Kemudian, setelah saling tatap dengan guru yang memandangku dengan raut agak khawatir, aku mengembalikan lembar jawabanku.

"Sensei, ini merepotkan. Sepertinya kau salah memberikan lembar jawaban."

"Tenang. Itu tidak salah lagi, itu lembar jawabanmu, Hatsuse."

"Apa mungkin ada kesalahan dalam penilaian?"

"Itu juga tidak mungkin. Aku juga meragukan mataku sendiri dan sudah memeriksanya berkali-kali. Guru mata pelajaran lain juga kaget, lho. Dalam ujian rutin kali ini, nilai Hatsuse di semua pelajaran…… Ah, tidak."

"……?"

"Kembalilah ke tempat dudukmu. Jadwal ujian susulan untuk siswa berprestasi buruk akan diberitahukan nanti."

Kepalaku menjadi kosong seketika. Suara Sensei hilang ditelan oleh denging di telingaku.

Dengan kesadaran yang kabur, aku dengan lesu kembali ke tempat dudukku. Aku duduk di kursi dengan seluruh tubuh lemas seperti boneka yang talinya putus………… Setelah beberapa saat, aku baru bisa memahami kata-kata guru.

"──Aku, dapat nilai merah!?"

Teriakan yang terdengar seperti jeritan itu menarik perhatian seluruh siswa di kelas.

Karena stress hebat akibat mendapat nilai merah untuk pertama kalinya dalam hidup, otakku mencapai batasnya, dan aku langsung pingsan setelahnya.


Singkatnya. Ujian rutin itu hanyalah awal dari kehancuran.

Sejak hari itu, bukan hanya kemampuan akademikku, aku jatuh ke dalam kemerosotan yang parah di berbagai bidang.

Kemampuan atletik sekelas atlet Olimpiade milik sang jenius langka, Hatsuse Junnosuke ini, keterampilan memasak sekelas koki bintang tiga, suara nyanyian yang pasti akan membuat penonton di konser bergemuruh, seni bela diri yang bisa mengalahkan petarung tangguh sekalipun, dan bahkan skill bermain game yang cukup untuk menjuarai turnamen e-sports──…… semua hal yang selama ini bisa kulakukan dengan mudah dan menghasilkan karya kelas satu, kini tak satu pun yang bisa kulakukan dengan baik.

Aku tidak tahu penyebab kemerosotan ini. Hanya ada satu hal yang pasti.

Rencana masa depanku yang sempurna, hancur lebur tanpa sisa bersama dengan harga diriku sebagai seorang jenius.



Dua minggu kemudian. Meskipun ini hari kerja, aku malah tidur sampai lewat tengah hari.

Aku juga sudah tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Rasanya sama sekali tidak ingin pergi.

Masih dalam posisi telentang di tempat tidur, aku bahkan tidak punya tenaga untuk bangkit, dan hanya mengalihkan pandanganku ke samping.

Wajahku yang terpantul di cermin tampak sangat menyedihkan. 

Rambutku berantakan, mataku kosong, dan bibirku kering. Penampilan yang membuatku sama sekali tidak ingin percaya bahwa itu adalah diriku.

"!!…… uuh, huaa, kenyataan ini begitu kejam…… Aku ingin melihat mimpi yang indah……"

Aku memalingkan muka dari cermin yang memantulkan diriku yang menyedihkan. Air mata yang menetes membasahi bantalku.

Aku menghabiskan malam-malam tanpa tidur karena imajinasi mengerikan kalau aku mungkin tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu terus membengkak. Meskipun aku mencoba tidur, kelelahan mentalku sepertinya masih jauh dari kata pulih.

Ketika aku sudah lelah menangis, kesadaranku dengan mudah tenggelam ke dalam kantuk.


Saat aku sadar, aku sedang duduk di kursi di sebuah ruang putih bersih seperti di tengah kabut.

Jika memang ada dunia setelah kematian, mungkin tempatnya seperti ini.

Tempat ini dipenuhi oleh nuansa misterius yang membuatku berpikir demikian. Artinya ini bukan kenyataan, hanya mimpi biasa.

"Ini bukan mimpi, lho, Hatsuse Junnosuke-san."

Seseorang memanggil namaku, membuatku terkaget.

Entah dia sudah ada di sana sejak awal atau baru saja muncul tiba-tiba, tanpa kusadari seorang gadis sudah berada di hadapanku.

"Aku adalah salah satu dari 『Dewi Langit』, namaku Rei."

Di atas rambut panjangnya yang seputih salju seolah dirajut dari cahaya, bertengger sebuah mahkota kecil namun mewah.

Dia memiliki mata merah tua yang memesona, dan mengenakan pakaian gaya Jepang──seorang wanita yang menyebut dirinya dewi, aku bisa mengerti, dia memancarkan aura suci.

Lalu, aku pun bertatapan sejenok dengannya yang menunjukkan ekspresi penuh harap.

"Terus?"

"…………A, ara?"

"Kalau kamu dewi memangnya kenapa? Mau menolongku, gitu? Menolongku yang sudah jadi lebih rendah dari orang biasa ini……"

Aku membungkukkan punggung dan menundukkan wajahku. Tiba-tiba, aku merasakan sang dewa tampak panik.

"A, are!? Aku dengar anak-anak jaman sekarang akan senang dengan situasi seperti ini, lho! Yang itu, lho, seperti mendambakan dunia lain, apa kamu belum pernah lihat karya hiburan semacam ini!? Padahal aku sudah cukup berusaha keras untuk menciptakan suasananya."

"Apa itu…… aku tidak tahu."

Aku tidak pernah sengaja menikmati karya hiburan. Bagiku, kenyataan itu sendiri adalah sebuah permainan, dan aku sudah merasa puas.

……Meskipun begitu, ini adalah mimpi buruk pertamaku. Apa ini yang disebut lucid dream? Kesadaranku terasa berkelanjutan dari dunia nyata. Setidaknya bagiku, ini adalah pengalaman yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Ah, sudah kubilang ini bukan mimpi, tapi kamu tidak percaya, ya. Ini salahku karena melakukan hal yang membingungkan, sudahlah, aku akan langsung masuk ke intinya!"

Mungkin karena kesal usahanya yang sepenuh hati gagal, sang dewi berbicara dengan nada merajuk.

Tangan sang dewi mendarat di kedua bahuku. Postur tubuhku yang membungkuk ditegakkan dengan paksa.



"──Hatsuse Junnosuke-san. Seperti yang mungkin sudah kamu sadari, kamu telah kehilangan bakatmu."

"Kehilangan... bakat?"

"Benar. Para dewa di dunia langit memberikan berbagai pengaruh di dunia bawah melalui pekerjaan mereka. Dalam kasusku, tugasku adalah memberikan bakat anugerah kepada orang-orang di dunia bawah."

"...! Ja-jadi, apa itu artinya kau juga bisa.…. memberikan bakat padaku!?"

"Tidak, itu tidak mungkin. Memberikan bakat sesaat sebelum kelahiran adalah aturan di dunia langit."

"Cih! Tolonglah, usahakan bagaimana pun caranya!"

"Kalau mau merengek, bisa tidak sambil menyembunyikan decakan lidahmu?"

Aku bertanya pada sang dewi yang menatapku dengan mata setengah terpejam seolah melihat sesuatu yang mencurigakan.

"Kalau begitu, eetto, aa…… Dewi."

"Namaku Rei. Kamu ini orang yang tidak sopan, ya! Sudah lupa namaku, tidak pakai panggilan kehormatan juga!"

"Mohon maaf, aku tidak terbiasa mengingat dan menghormati orang lain. Daripada itu, tolong jelaskan padaku apa maksudnya aku kehilangan bakat."

"……Itu adalah kesalahan dari 『Dewa Langit』 sebelum aku."

Sang dewi──Rei, mulai berbicara dengan raut wajah serius.

Terlepas dari apakah ini mimpi atau bukan, aku memutuskan untuk mendengarkan ceritanya.

"Seperti yang sudah kusampaikan tadi, bakat anugerah diberikan sesaat sebelum kelahiran. Tetapi, tidak semua manusia dianugerahi bakat. Bakat itu hanya diberikan kepada orang yang mampu menggunakannya lebih baik dari siapa pun."

"Jadi itu adalah hak istimewa bagi mereka yang terpilih oleh dewa. Benar-benar bakat anugerah, ya."

Kalau begitu, artinya aku yang penuh bakat ini memang ditakdirkan untuk menjadi jenius.

Meskipun itu fakta yang tidak buruk sama sekali, lalu kenapa aku kehilangan bakatku? Katanya dewa langit sebelumnya membuat kesalahan, apa mungkin dia tidak sengaja menghapus bakatku……?

Seolah bisa membaca isi hatiku, Rei menggelengkan kepalanya.

"Memang ada kesalahan. Tetapi, itu bukanlah tentang hilangnya bakat Hatsuse Junnosuke-san."

"A-apa katamu?"

"Kamu awalnya memiliki seratus sembilan bakat. Tetapi, bakat yang seharusnya kamu terima──hanyalah satu. Kamu telah menerima seratus delapan bakat tambahan karena sebuah kesalahan."

"Ha…… Haaaah!?"

Tanpa sadar aku berdiri dan mencengkeram bahu Rei. Apa-apaan, dewa macam apa yang melakukan kesalahan seperti itu!?

"Jangan bercanda! Panggil dewa pendahulu itu ke sini, aku mau mengeluh padanya!"

"P-pendahuluku sudah menerima hukuman berat atas pelanggaran tugas dan, su-sudah diusir dari dunia langit—!?"

Bahu Rei kuguncang-guncang sampai matanya berputar.

Tapi, apa-apaan ini. Kalau itu memang benar…… begitu, ya.

"Kalau kehilangan bakat itu bukan kesalahan, artinya itu adalah tindakan yang semestinya?"

"Uu, benar. Bakat tambahan yang kamu terima seharusnya dimiliki oleh orang lain."

"Artinya, aku…… telah memonopoli 'bakat milik orang lain' sebanyak seratus delapan orang?"

Kasihan sekali orang-orang yang gagal menerima bakat mereka. Aku bergidik membayangkan jika aku ada di pihak mereka.

Seolah merasakan kalau aku hanya mengkhawatirkan diriku sendiri, Rei menusukku dengan tatapan menyalahkan.

"Kegagalan dalam menerima bakat anugerah adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh terjadi."

"? Apa maksudmu?"

"Orang-orang yang seharusnya menerima bakat anugerah itu membutuhkan bakat tersebut. Hanya dengan memiliki bakat itulah kecacatan mereka bisa terhapus dan keseimbangannya menjadi stabil. Jika seseorang gagal menerima bakat anugerah yang semestinya, orang itu akan menanggung kelemahan yang merupakan kebalikan dari bakat tersebut──sebuah 『Dampak Buruk』. Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa diatasi sekeras apa pun usahanya."

Aku mencerna kata-kata Rei pelan-pelan.

"Itu artinya, misalnya, kalau seseorang gagal menerima 'bakat berenang', sebagai 『Dampak Buruk』-nya dia akan menjadi orang yang tidak bisa berenang seumur hidup…… semacam itu?"

"Benar sekali. Kamu cepat mengerti, ya."

"Tunggu. Aku kehilangan bakatku dan jadi tidak bisa melakukan apa-apa, apa ini juga 『Dampak Buruk』?"

"Ah. Itu sama sekali tidak ada hubungannya. Kamu selama ini hidup hanya mengandalkan bakat tanpa berusaha sedikit pun, jadi itu murni hasil dari kurangnya usaha."

"……Aku tahu kau tidak bermaksud jahat, tapi entah kenapa aku jadi kesal!"

Aku meneriakkan kemarahan yang tak tahu harus dilampiaskan ke mana pada Rei yang menasihatiku dengan polosnya.

Lalu, saat napasku sudah kembali tenang, aku terduduk lemas di lantai yang putih bersih.

"Tapi, begitu, ya. Aku tidak akan pernah bisa lagi, hidup sebagai jenius yang sempurna……"

"……Seratus delapan bakat tambahan yang kamu miliki sudah didistribusikan ke seratus delapan pemilik aslinya. Dewa Langit pendahulu sepertinya menyadari kesalahan masa lalunya saat diperintahkan oleh dewa atasan untuk merapikan tempat kerja yang berantakan, dan mencoba untuk menutupi kesalahan itu. Dengan keputusannya sendiri, dia mendistribusikan bakat-bakat itu dan──"

Di tengah kalimat, dia tampak kesulitan memilih kata-kata, dan melanjutkan dengan terbata-bata.

"Dan…… eeto, aku agak sulit mengatakannya karena ini seperti membeberkan aib dunia langit, tapi sebenarnya, dalam pendistribusian bakat itu pun, ditemukan kesalahan lebih lanjut. Seratus delapan bakat itu tidak sampai ke pemilik aslinya, melainkan terkirim secara acak di antara seratus delapan orang tersebut, dan akhirnya tertukar."

"……Pendahulumu itu dewa pembawa sial atau apa."

"Ta-tapi, tenang saja. Mengenai pertukaran bakat ini, Hatsuse Junnosuke-san tidak menjadi korban. Sepertinya pemilihan seratus delapan bakat yang harus didistribusikan itu sendiri sudah benar, hanya saja alamat pengirimannya yang salah. Hasilnya, bakat yang tersisa pada Hatsuse Junnosuke-san──『Bakat Percintaan』, adalah bakat anugerah asli milikmu."

"Bakat sejatiku adalah, cinta…… percintaan?"

Aku tidak bisa menyembunyikan kebingunganku.

Bukannya mau menyombongkan diri, tapi aku punya standar yang tinggi dalam hal percintaan. Aku tidak tertarik pada cinta karena tidak ada pasangan yang sepadan denganku. Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa berkompromi dengan urusan asmara yang biasa-biasa saja.

Aku yang seperti itu, punya bakat percintaan sampai diakui oleh dewa? Memang aku percaya diri bisa menaklukkan wanita mana pun jika aku mau, tapi ada bagian dari diriku yang sulit menerima ini begitu saja.

"……Aku agak kurang yakin. Memang benar aku adalah pria tampan jenius yang pantas dicintai oleh semua wanita di dunia, tapi baru-baru ini saja aku dibenci oleh teman-teman sekelas perempuanku, lho."

"Itu wajar. Hatsuse Junnosuke-san, memangnya kamu punya niat untuk jatuh cinta? Selama kamu tidak punya niat itu, 『Bakat Percintaan』 kamu tidak akan bisa muncul."

"Apa!? Memang benar aku tidak pernah menunjukkan rasa suka pada siapa pun…… tapi itu karena tidak ada pasangan yang sepadan denganku……!"

"Justru itu masalahnya."

Aku yang mulai mencoba membantah dengan berbagai alasan, terpaksa bungkam oleh satu kalimat Rei.

Jadi karena aku tidak pernah menyukai siapa pun, aku tidak bisa menggunakan bakatku?

Aku tambah tidak mengerti. Apa itu cinta yang dimaksud Rei? Bagaimana caranya aku bisa menyukai wanita-wanita biasa yang tak terhitung jumlahnya itu?

Tiba-tiba, dia menyipitkan matanya seolah melihat sesuatu yang menyedihkan.

"Hanya saja…… karena kamu telah memiliki bakat anugerah secara berlebihan, kamu telah terdistorsi menjadi wujud yang berbeda dari yang seharusnya. Kamu merasa aneh dengan bakatmu sendiri, mungkin karena itu."

"Aku…… terdistorsi, katamu?"

Kata-kata itu sama saja dengan menyangkal diriku yang sekarang, tanpa sadar keningku berkerut.

Jika saja yang ada di dalam diriku hanya 『Bakat Percintaan』, akan jadi manusia seperti apa aku ini? 

Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu.

"Meskipun kamu bilang begitu…… sekarang, apa yang harus kulakukan."

"Benar juga, ya. Hatsuse Junnosuke-san meskipun kepribadian kamu buruk, kamu adalah seorang jenius yang keunggulannya diakui semua orang, dan jika kehilangan sebagian besar bakat, kamu hanyalah orang dengan sifat yang buruk."

"Aku tidak pernah menilai diriku seburuk itu……"

"Aku juga merasa bertanggung jawab, sebagai penerus yang mengambil alih tugas ini. Tolong jangan berkecil hati. Kamu pasti suatu saat akan mengenal cinta, dan bisa menjalani kembali hidup yang murni. Laki-laki sejak jaman dulu adalah makhluk yang kuat. Tegarkanlah hatimu. Dari seratus sembilan orang yang terlibat, satu-satunya anak laki-laki adalah kamu, jadi jadilah pelopor bagi yang lainnya! Tolong, berusahalah!"

"……………………Barusan, kamu bilang apa?"

Sesuatu mengganjal di kepalaku. 

Bukankah barusan dia mengatakan sesuatu yang sangat penting dengan santainya?

Setelah itu, sesuatu terlintas di benakku.

"──Be-begitu, ya!!"

"……? H-Hatsuse Junnosuke-san?"

Rei pun memiringkan kepalanya. Aku berdiri dengan penuh semangat dan mencengkeram bahunya.

"Terima kasih, Dewi-sama! Aku sudah sempat kecewa dan berpikir kalau dewa itu pada akhirnya hanyalah mesin pembuat kesalahan karena pendahulumu yang begitu parah, tapi aku merasa tenang jika dewi sehebat kamu yang menjadi penerusnya. Berkat kamu, semangatku kembali muncul!"

"Be-begitukah? He, ehehe."

Menerima ucapan terima kasihku begitu saja, Rei tertawa malu-malu.

Tanpa memedulikannya, aku segera menyusun rencana dari ide yang baru saja terlintas di benakku.

Rei berkata──dari seratus sembilan orang yang terlibat, satu-satunya laki-laki adalah aku.

Itu artinya, seratus delapan orang selain aku adalah perempuan. Dan satu hal penting lainnya adalah, aku memiliki 『Bakat Percintaan』──kemampuan alami untuk membuat wanita jatuh cinta.

Dari dua hal ini, sebuah ide pun muncul.

Aku, tetap ingin merebut kembali masa depan gemilang yang seharusnya kujalani sebagai seorang jenius. Aku sama sekali tidak bisa menerima diriku yang telah merosot setelah kehilangan sebagian besar bakatku. Itu sama saja dengan jatuh ke pihak orang-orang biasa tak berguna yang selama ini kupandang rendah. Jenius yang sempurnalah yang pantas untuk seorang Hatsuse Junnosuke ini!

Karena itu, aku akan membuat seratus delapan gadis yang menerima bakat itu jatuh cinta padaku dengan 『Bakat Percintaan』.

Jika aku bisa menaklukkan dan membuat mereka semua melayaniku, aku bisa menggunakan para wanita itu──dan bakat mereka, sesuka hatiku. 

Secara praktis, ini sama saja dengan menguasai kembali seratus delapan bakat yang telah hilang! Dengan begitu, masa depanku akan aman……!

Tapi, untuk itu aku masih butuh senjata.

"Dewi-sama. Ada yang ingin kubicarakan, bagaimana jika kamu membiarkanku membantumu?"

"Eh?"

Aku menyuruh Rei yang kebingungan untuk duduk di kursi yang tadi kududuki.

"Kamu mengambil alih tugas dari pendahulu, artinya kamu juga dibebani dengan penyelesaian masalah akibat kesalahannya, kan? Demi mereka yang malang karena bakatnya tertukar, dan demi Dewi-sama yang telah membantuku bangkit, aku ingin menawarkan bantuan meskipun hanya sedikit!"

"Eh, to……"

"Pasti ada sesuatu yang merepotkanmu, kan? Katakan saja tanpa sungkan. Meskipun kamu seorang dewi, pekerjaan pasti berat, kan? Apa tidak ada bagian di mana kamu membutuhkan bantuan tangan manusia?"

"Ta-tapi, dewi tidak bisa turun ke dunia bawah karena aturan dunia langit, jadi memang agak merepotkan karena aku tidak bisa pergi langsung untuk mencari bakat yang tertukar…… tapi kalau dari dunia langit pun, masalah ini bisa diselesaikan seiring berjalannya waktu."

"Apa yang kamu katakan, jika kamu benar-benar memikirkan orang-orang, masalah ini harus diselesaikan secepatnya! Oleh karena itu, bisakah kamu memberikanku, sebagai rekan kerja kamu di dunia bawah, sebuah cara untuk mencari seratus delapan bakat yang telah didistribusikan itu?"

"U, uun. Hal seperti ini belum pernah ada sebelumnya. A-apa tidak apa-apa, ya?"

"Apa ada aturan di dunia langit yang melarang menerima bantuan dari manusia?"

"Itu juga, tidak ada, sih."

"Kalau begitu tunggu apa lagi! Tidak perlu ragu. Lagipula ini adalah perbuatan baik yang benar. Mari kita saling bergandengan tangan dan menyatukan kekuatan!"

Aku berbicara dengan cepat dan berapi-api, lalu mengulurkan tanganku dengan wajah yang ceria.

Rasanya seperti sedang merayu seorang gadis lugu yang belum terbiasa dengan laki-laki, tapi kalau dipikir-pikir──mungkinkah dalam interaksi seperti ini, efek dari 『Bakat Percintaan』 sedikit banyak sudah muncul?

Rei bilang bakat itu tidak akan muncul jika aku sendiri tidak punya niat untuk jatuh cinta, tapi mana mungkin aku percaya begitu saja. Orang dihadapanku seorang dewi, artinya dia adalah seorang perempuan. 

Aku berharap bakat anugerahku akan muncul walau hanya sedikit…… tapi aku tidak merasakannya. Lagipula aku juga tidak tahu bagaimana cara merasakan respons dari 『Bakat Percintaan』 itu.

Meskipun begitu, aku tetap mempertahankan raut wajah yang ramah dan menatapnya dengan sungguh-sungguh.

Setelah agak lama kebingungan, Rei menatap tanganku dengan mata yang bimbang, lalu dengan ragu-ragu menyambutnya.

"Aku juga senang…… melihat kamu sepertinya sudah menjadi orang yang baik."

Rei menunjukkan senyum tulus. Sepertinya dia benar-benar memercayai kebohonganku.

Tentu saja, aku menawarkan bantuan bukan karena niat baik. Itu hanya dalih. Aku hanya ingin sebuah cara untuk mengetahui di mana letak seratus delapan bakat itu.

Jika aku tidak mendapatkan cara itu, aku bahkan tidak akan bisa mencapai tujuanku untuk menguasai kembali bakat-bakat yang telah hilang.

Tapi──untungnya, sepertinya berhasil.

"Aku telah meminjamkan 『Indra Keenam』 Aku melalui kekuatan gaibku. Dengan ini, kamu bisa mencari bakat."

Aku berhasil membuat Rei menerima kerja samaku…… tapi.

Aku menunduk melihat tubuhku sendiri, lalu mengerutkan alisku.

"? Aku tidak merasakan apa-apa. Apa benar ada yang berubah?"

"Wajar jika kamu tidak merasakan apa-apa dalam kondisi normal. Tapi, saat kamu melakukan kontak fisik dengan pemilik bakat anugerah yang sedang dicari, dadamu akan terasa kyu~n. Anggap saja ini seperti alat pendeteksi."

"……Kamu bercanda, ya?"

"Aku sangat serius. Mari kita coba rasakan. Kamu siap?"

Aku masih menatap Rei dengan tatapan skeptis, yang seolah ingin berkata bahwa reaksiku ini sungguh di luar dugaan. Tepat setelah itu.

──Kyu~n!

"Ukh……!?"

Aku tanpa sadar mengerang karena sensasi yang bukan seperti rasa sakit, tapi seperti ada yang meremas dadaku.

"R-rasa aneh macam apa ini! Ganti dengan kekuatan lain, bukankah syarat harus ada kontak fisik itu juga tidak praktis!"

"Ini sudah yang terbaik yang bisa kulakukan. Jika aku sembarangan menggunakan kekuatan gaib, kamu mungkin akan terpengaruh oleh kekuatan itu dan kepribadian kamu bisa menjadi lebih terdistorsi dari sekarang. Ini demi kebaikan Hatsuse Junnosuke-san."

"……"

"Lagi pula, tidak semua wanita di bumi menjadi target pencarian kali ini. Saat menganugerahkan bakat anugerah, kami menyeleksi orang dengan membaginya berdasarkan wilayah tertentu. Artinya, seratus delapan orang yang menerima distribusi bakat itu, setidaknya pada saat lahir, adalah orang-orang yang tinggal di wilayah yang dekat dengan Hatsuse Junnosuke-san."

"……Artinya, jika mereka tidak pindah rumah atau belajar di luar negeri, ada kemungkinan mereka masih ada di sekitarku, ya. Meskipun area pencarian sudah dipersempit, tapi itu tidak banyak membantu."

Sepertinya aku tidak bisa mendapatkan kelonggaran lebih dari ini. Mau bagaimana lagi.

Setidaknya, kunci yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhirku, yaitu merebut kembali masa depan yang mulus, telah terkumpul.

"Jadi, apa yang akan Dewi-sama lakukan sekarang?"

"Aku sendiri akan mengamati dari dunia langit dan mencari bakat anugerah yang telah didistribusikan. Jika sudah ketahuan siapa dan di mana pemilik seratus delapan bakat itu, Aku akan menjelaskan situasinya seperti kali ini. Dan pada akhirnya, akulah yang akan mendistribusikannya kembali ke pemilik yang benar."

Rei meletakkan tangannya di dada dan mengatakannya dengan tegas.

"Jika kamu berhasil menemukan bakat anugerah, hal itu akan tersampaikan juga kepadaku melalui 『Indra Keenam』. Jika kamu benar-benar memikirkan orang lain, maka kita harus menyelesaikan-nya secepat mungkin…… Aku akan menantikan bantuanmu."

"……Akan kutunjukkan padamu, kalau aku akan memenuhi harapan itu dengan caraku sendiri."

Tatapan menantang dari Rei dan mataku yang telah tersulut api saling bertemu.

Meskipun tujuan akhir kami berbeda, sampai di tengah jalan kepentingan kami sama.

Aku pasti akan menemukan seratus delapan bakat yang hilang, membuat para wanita pemiliknya jatuh cinta dengan 『Bakat Percintaan』, dan merebut kembali masa depan aman yang seharusnya menjadi milikku!

Tanpa tahu niat tersembunyiku, Rei pun tersenyum tipis dan mengangkat tangannya.

"Kalau begitu, aku akan mengembalikan kesadaran kamu ke dunia ini. Semoga keberuntungan menyertaimu."

Ruang putih itu, dan Rei yang berdiri di sana, dengan cepat menjauh.

Aku kehilangan pijakanku, dan jatuh terlentang ke dalam kegelapan──……


Akupun membuka mata. Aku melompat bangun dan melihat sekeliling.

Ini kamarku. Aku melirik jam. Aku tertidur hanya sekitar lima belas menit.

Di cermin rias di sebelah tempat tidur, terpantul diriku dengan ekspresi terkejut di wajah.

Lalu, setelah butuh beberapa saat untuk menata pikiranku, aku perlahan mengembuskan napas.

"Mimpi yang aneh…… Ha, haha, hahhaha!"

Aku tahu. Itu hanyalah kejadian dalam mimpi. Menerimanya begitu saja, tidak mungkin.

Aku punya harga diri sebagai seorang realis yang tidak percaya pada hal-hal abstrak.

Aku menertawakan khayalan konyol itu, lalu tiba-tiba, aku meletakkan tanganku di dadaku.

Di jantungku masih tersisa, sensasi aneh yang terasa kyu~n itu.

"Dewa dan Dewi seharusnya tidak ada… tapi, kenyataan kalau aku jatuh menjadi lebih rendah dari orang biasa bukanlah mimpi."

Berkat tidurku yang singkat, waktu masih menunjukkan lewat tengah hari.

Akupun bangkit dari tempat tidurku. Setengah terdorong oleh adrenalin, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah sekarang. 

0

Penulis blog

Rion
Rion
Suaminya Nilou